Minggu, 09 Januari 2011

EKONOMI ISLAM

EKONOMI ISLAM

Kehadiran ekonomi Islam telah memunculkan harapan baru bagi banyak orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah sistem ekonomi alternatif dari sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia, terutama sejak usainya Perang Dunia II yang memunculkan banyak negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini, keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan bagi banyak pihak, muslim maupun non-muslim untuk melakukan banyak penggalian kembali berbagai ajaran Islam, khususnya yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan antarmanusia melalui aktivitas perekonomian maupun aktivitas lainnya.
Meskipun begitu, sistem ekonomi dunia saat ini masih dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalisme, karena umat Islam sendiri masih terpecah dalam hal bentuk implementasi ekonomi Islam di masing-masing negara. Kenyataan ini oleh sebagian pemikir ekonomi Islam masih diterima dengan kelapangan karena ekonomi Islam secara implementasinya di masa kini relatif masih baru, masih perlu banyak sosialisasi dan pengarahan serta pengajaran kembali umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sesuai dengan hukum Islam. Sementara sebagian lainnya menilai bahwa faktor kekuasaan memainkan peran signifikan, karenanya mengkritisi bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah belum akan dapat sesuai dengan syariah jika pemerintahnya sendiri belum menerapkan syariah dalam kebijakan-kebijakannya.
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw: “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya. Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.
Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur’an atau Sunnah.
Suka atau tidak, ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam negara Islam.
Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan dan kurangnya sarana maka timbullah masalah ekonomi. Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu .Yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah sistem pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi .
Secara epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Cakupannya adalah: (1) kepemilikan (al-milkiyah), (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah), dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas). Bagian ini merupakan pemikiran yang terikat nilai (value-bond) atau valuational, karena diperoleh dari sumber nilai Islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah, melalui metode deduksi (istinbath) hukum syariah dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam normatif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua, ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Bagian ini merupakan pemikiran universal, karena diperoleh dari pengalaman dan fakta empiris, melalui metode induksi (istiqra’) terhadap fakta-fakta empiris parsial dan generalisasinya menjadi suatu kaidah atau konsep umum (Husaini, 2002). Bagian ini tidak harus mempunyai dasar konsep dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi cukup disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam positif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut ilmu ekonomi Islam (al-‘ilmu al-iqtishadi fi al-islam).

Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
a. Keselamatan keyakinan agama (al din)
b. Kesalamatan jiwa (al nafs)
c. Keselamatan akal (al aql)
d. Keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. Keselamatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Prinsip Sistem Ekonomi Islam
Prinsip sistem ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu: Pertama, Prinsip umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai Aqidah Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.
Kedua, prinsip khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam. Prinsip khusus ini terdiri dari tiga asas (pilar), yaitu: (1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), melalui mekanisme syariah.
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam)
Prinsip sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai prinsip umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi (lihat Qs. al-Mâ’idah [5]: 3; Qs. an-Nahl [16]: 89).
Prinsip Islam ini berbeda dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).1) Paham sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama.
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa prinsip sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.
Sekularisme ini pula yang mendasari prinsip cabang kapitalisme lainnya, yaitu prinsip yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.
Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (idzn Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran.
Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar.
Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit. Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk). Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah yang: (1) membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi, seperti dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara individu dan negara.
Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa perintah atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik, (3) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan, dan (4) pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.
Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan atau cegahan syariah, misalnya (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.
Penutup
Demikianlah uraian sekilas prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dengan memahaminya, diharapkan umat Islam terdorong untuk menerapkannya dan sekaligus mengetahui perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tengah diterapkan.
Sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menimbulkan penderitaan itu kita hancurkan dan kita gantikan dengan ekonomi Islam yang insya Allah akan membawa barakah bagi kita semua. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan berrtakwa, niscaya akan Kami limpahkan bagi mereka barakah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (Qs. al-A’râf [7]: 96).

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain, Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud, Madinah, Saudi Arabia, 1990
Rahman, Afzalur, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, ter. Nastangin dan Soeroyo, Jilid I, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Ahmad, Khursid, Studies in Islamic Economics, The Islamic Foundation, United Kingdom, 1981
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-Ummah.
——–. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Chapra, Umer M, Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam (The Future of Economics : An Ismaic Perspective, Gema Insani, Jakarta, 2001
Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences. New Delhi : Goodwork Book.
Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
Sudarsono, Heri, 2002, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta: EKONSIA,
Zallum, A.Q. 1983. Al-Amwal fi Daulah Al Khilafah. Beirut : Darul llmu lil Malayiin.
Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
An-Nabhaniy,T. 1990. An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam. Beirut : Darul Ummah
Ahmad, Khursid, 1981,Studies in Islamic Economics, The Islamic Foundation, United Kingdom, hal. 3
Al Qur’an dan Terjemahnya hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain, Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud, Madinah, Saudi Arabia, 1990
Mannan, M. Abdul, 1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, ter. Ikhwan AbidinBisri, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 3
Chapra, Umer M, Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam (The Future of Economics : An Ismaic Perspective, Gema Insani, Jakarta, 2001
Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences. New Delhi : Goodwork Book
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-Ummah.
Rahman, Afzalur, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, ter. Nastangin dan Soeroyo, Jilid I, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf., hal. 84
Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta: EKONSIA, hal. 105
Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
Zallum, A.Q. 1983. Al-Amwal fi Daulah Al Khilafah. Beirut : Darul llmu lil Malayiin atau Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Ibid
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-Ummah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo komentar...